KPK Bidik Dana Pengelolaan Kelapa Sawit

12.802 dilihat

BUANAINDONESIA, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai adanya praktik korupsi pada pengelolaan kelapa sawit baik di sisi hulu dan hilir. Lembaga anti rasuah itu membidik dana pungutan sawit yang menurut KPK rawan praktik korup.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan masih ada tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektar di sektor perkebunan tersebut. Lemahnya mekanisme perizinan juga ditengarai membuat sektor sawit menjadi rawan praktik korupsi.

Advertisement

“Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp3,25 triliun alokasi dana,” kata Febri, Senin, 24 April 2017.

KPK menyatakan, dana itu seharusnya adalah untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi serta riset. Dari amatan KPK tentang Pengelolaan Kelapa Sawit mencatat, ada 11 perusahaan yang memperoleh dana perkebunan tersebut untuk program biofuel periode Agustus 2015 hingga April 2016. Perusahaan itu adalah PT Darmex Biofuels, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Primanusa Palma Energi; PT Ciliandra Perkasa,PT Cemerlang Energi Perkasa, PT Energi Baharu Lestari, PT Wilmar Bionergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia; Musim Mas, PT Eterindo Wahanatama dan PT Anugerahinti Gemanusa.

“ Perluasan penggunaan dana tersebut, terutama untuk pemanfaatan bahan bakar nabati, jelas tidak sesuai dengan ketentuan Undang Undang Perkebunan, ” ucap Febri

KPK juga menambahkan dana pungutan terbesar diterima oleh PT Wilmar Nabati Indonesia yakni Rp1,02 triliun atau 31 persen dari total Rp3,2 triliun. Biofuel yang diproses oleh perusahaan itu mencapai 330 juta liter.

Lanjut Febri penggunaan dana itu oleh pelbagai perusahaan justru membuat pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan tidak akan tercapai. Selain itu hal tersebut juga merugikan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan perkebunan rakyat.

“ Sistem pencatatan penerimaan negara dari pungutan ekspor CPO tak berjalan sesuai peraturan perundangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian penerimaan negara, ” Tutup dia

Advertisement