oleh : Iceu Hidayanti
Saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan penting, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, Fungsi- fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa negara inilah yang menjadikan bahasa Indonesia penting untuk dikuasai oleh masyarakat Indonesia, karena itulah bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dengan tujuan agar masyarakat dapat menguasai atau pandai berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Akan tetapi penguasaan terhadap bahasa tidak cukup hanya pada tataran strukturnya saja, hal lain yang dipertimbangkan ketika seseorang dikatakan pandai berbahasa menurut Abdul Chaer (2010:7) yakni ketika seseorang itu menguasai tata cara atau etika berbahasa.
Etika berbahasa terkait erat dengan norma- norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat pengguna bahasa
Salah satu manfaat pembelajaran bahasa dari landasan aksiologis pengembangan ilmu adalah kesantunan. Kesantunan inilah yang perlu ditanamkan kepada siswa melalui pembelajaran bahasa Indonesia agar mereka memiliki bekal kesantunan berbahasa demi menghindari perselisihan ketika berkomunikasi.
Aksiologi merupakan salah satu landasan pengembangan ilmu selain Ontologi, dan Epistemologi. Aksiologi adalah salah satu landasan pengembangan ilmu yang merujuk pada kegunaan atau kebermanfaatan ilmu dalam kaitannya dengan nilai dan moral.
Kesantunan berhubungan erat dengan etika, dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa, Abdul Chaer (2010:6) menyebutkan bahwa etika berbahasa berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur, sedangkan kesantunan lebih pada substansi bahasanya.
Berdasarkan teori- teori kesantunan oleh beberapa tokoh Abdul Chaer (2010:109-119) membaginya menjadi sejumlah larangan dan keharusan dalam memenuhi etika kesantunan berbahasa, dan penulis menyimpulkan bahwa kesantunan berbahasa dapat diwujudkan dalam hal- hal berikut :
(1).Membuat lawan tutur merasa senang atau tidak diremehkan dengan memberikan pujian;
(2) bersikap lebih rendah dari lawan tutur atau tidak menyombongkan diri.
(3) menunjukkan empati.
(4) menggunakan kalimat tidak langsung saat menyuruh , menolak, dan menyatakan ketidaksetujuan.
(5) menggunakan kosa kata yang secara sosial budaya terasa lebih santun dan sopan termasuk juga penggunaan sapaan.
(6) menggunakan kata “maaf” jika harus menyebutkan kata-kata yang dianggap tabu dan disertai penjelasan atau lebih santun lagi jika disertai dengan kata “mohon”.
Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, landasan aksiologi berkaitan dengan bagaimana kegunaan atau kebermanfaatan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai ilmu diharapkan dapat menanamkan kesadaran siswa mengenai nilai dan moral yang berlaku di masyarakat. Disamping mempertimbangkan landasan ontologis yang berkaitan dengan isi materi pelajaran dan landasan epistomologis yang berkaitan dengan metode pembelajarannya, melainkan juga landasan aksiologis yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran khususnya kebermanfaatannya bagi siswa, Secara umum ilmu tidak akan berkembang jika apabila tidak memiliki manfaat, oleh karenanya landasan aksiologis justru menjadi landasan pertama yang dipertimbangkan mengapa Bahasa dan sastra Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran utama disekolah. Tentunya hal ini terkait dengan kebermanfaatannya yang cenderung memiliki celah besar sebagai sarana menanamkan kesadaran nilai dan moral untuk siswa. Hal tersebut merupakan manfaat utama dari setiap ilmu.
Peranan signifikan dimiliki oleh bahasa sebagai salah satu media komunikasi, sebagai penunjang keberhasilan kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, hal ini berkenaan juga dengan aksiologi pembelajarannya sebagai salah satu bidang ilmu yang harus dikuasai siswa. Terdapat banyak manfaat mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia, dan salah satu yang paling tampak adalah sebagai sarana mencapai tujuan agar siswa mampu memiliki kesantunan dalam berbahasa atau dalam menggunakan bahasa sesuai dengan nilai dan moral yang berlaku di masyarakat.
Moral berbicara mengenai baik dan buruk, Sedangkan nilai berbicara tentang benar dan salah,keduanya saling mempengaruhi tetapi jika berfokus pada kesantunan berbahasa moral lebih ditekankan, karena kesantunan berbahasa merupakan salahsatu perwujudan moral, salah satu indikasi baik buruknya moral dapat diamati dari kesantunan seseorang menggunakan bahasa, orang yang berpendidikan cenderung memiliki kemampuan berbahasa yang santun daripada orang yang tidak berpendidikan, cenderung lebih selektif memilih diksi yang di gunakan dalam tuturan dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti siapa lawan tuturnya, dimana ia bertutur, dsb sehingga ia memiliki tingkat kesantunan yang tinggi. Lain lagi dengan orang yang tidak atau kurang berpendidikan, ia bertutur tanpa banyak pertimbangan sehingga tuturannya memiliki tingkat kesantunan yang lebih rendah, karenanya pengajaran moral di sekolah sangatlah penting, meskipun hal ini bukanlah satu-satunya penentu baik buruknya moral yang dimiliki seseorang, tetapi menanamkan kesantunan dalam berbahasa di sekolah memberikan andil bagi pembentukkan moral bangsa, karenanya pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah menjadi media yang tepat untuk menanamkan kesantunan berbahasa pada siswa.
Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia siswa diberikan penjelasan secara tak langsung tentang bentuk- bentuk kesantunan, dan guru berkesempatan luas untuk menanamkan prilaku santun dalam berbahasa melalui materi-materi yang diberikan, misalnya saat pemberian materi kalimat perintah, guru dapat menggiring siswa agar bisa membedakan kalimat yang santun dan kalimat yang kurang santun dari contoh- contoh yang diberikan. Contohnya membedakan “ Pindahkan tas ini!”, “Tolong pindahkan tas ini”, dan “ Dapatkah anda memindahkan tas ini?”. Ketiga kalimat tersebut mempunyai tingkat kesantunan yang berbeda, secara tidak langsung guru mengarahkan siswa untuk memilih kalimat mana yang akan digunakan saat memberikan perintah untuk memindahkan tas pada seseorang. Pertimbangan itu bisa pada jarak sosial atau status penutur atau lawan tutur, dsb.
Materi tentang kalimat perintah pada pembelajaran tsb merupakan salahsatu perwujudan landasan ontologis, sedangkan tujuan guru memberikan berbagai macam contoh kalimat perintah dengan tingkatan- tingkatan tertentu adalah perwujudan landasan aksiologis, dan yang melengkapinya adalah perwujudan landasan epistomologis yaitu cara atau metode guru menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang memudahkan pemahaman siswa. Kita bisa menggunakan berbagai metode pembelajaran semisal dengan praktik langsung kalimat perintah. Guru memberikan perintah pada siswa A dengan kalimat “ Ambilkan spidol itu!” Dan pada siswa B memberikan perintah dengan kalimat “ Budi, bisakah kau membantu ibu mengambilkan spidol itu ?”. Siswa A mungkin akan melakukan apa yang diminta tetapi dengan berat hati karena merasa diperintah, sedangkan siswa B melakukan perintah gurunya dengan senang hati. Praktik langsung seperti ini diharapkan bisa memberikan pemahaman agar siswa bisa membedakan kalimat perintah yang santun dan ayang kurang santun.
Materi sastra juga bisa dijadikan media untuk menanamkan kesantunan, semisal siswa dikenalkan dengan berbagai majas atau gaya Bahasa yang digunakan dalam pertuturan. Abdul Chaer(2010:20) mengatakan bahwa dengan menggunakan majas pertuturan bisa menjadi lebih santun. Majas atau gaya bahasa merupakan optimalisasi penggunaan bahasa dengan cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi. Terdapat banyak majas yang bisa dikenalkan pada siswa seperti personifikasi, metafora, eufimisme, pleonasme, dsb. Misalnya “ Ibunya sudah tidak ada di tengah- tengah mereka “ yang merupakan majas eufimisme atau perhalusan dari makna sebenarnya yakni “ Ibunya sudah mati “.
Penanaman kesantunan bisa juga tidak berkaitana dengan materi, misalnya saat ada siswa yang ayahnya baru saja meninggal guru menyampaikan informasi dalam majas eufimisme, “ Salah satu teman kalian sedang berduka karena ayahnya sudah tiada.” Mungkin sebagian siswa faham apa yang dimaksud gurunya bahwa ayah Dini sudah meninggal, dan sebagian lagi belum faham, guru dapat memperjelas tuturannya bahwa ia sedang menyampaikan berita kematian dalam bentuk tuturan yang lebih santun ketimbang mengatakan bahwa ayah Dini sudah mati.
Pembendaharaan kosa kata yang dimiliki siswa terkait dengan pemahaman siswa dalam mempertimbangkan tuturan, sehingga ia bisa menentukan diksi yang tepat sesuai konteks kesantunan. Karenanya siswa dibimbing untuk menguasai empat keterampilan berbahasa untuk membantu mereka memperoleh kosakata sebanyak-banyaknya, dan untuk memperluas wawasan mereka untuk menjadi bekal dalam berinteraksi di lingkungan social dengan kesadaran akan nilai dan moral melalui perilaku berbahasa yang santun.
Peran guru sangat vital untuk mencapai aksiologi ini, karenanya ia harus memiliki karakterikstik professional sebagai guru yang diharapkan akan meningkatkan efektivitas pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam membentuk perilaku santun berbahasa sebagai aktualisasi dari landasan aksiologi. Dengan memiliki kesantunan dalam berbahasa melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harapannya siswa mampu menjadi bagian dari manusia yang berkepribadian Pancasila. Pancasila menjadi sumber system nilai dalam Pendidikan, atau bisa dikatakan Pancasila menjadi sumber dari segala gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik. Atau sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal setipa tindakan dan keputusan dalam pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadi salahsatu sarana penanaman kesadaran moral pada siswa dalam bentuk kesantunan berbahasa sebagai aktualisasi dari landasan aksiologi Pendidikan. Peran guru sangat penting dalam memberikan arahan agar siswa mampu santun dalam berbahasa sesuai nilai- nilai Pancasila. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam praktiknya sebaiknya memberikan porsi yang lebih pada penanaman nilai dan moral yang berlaku pada masyarakat Indonesia, bukan hanya tentang konsep kebahasaan atau teori kesusastraan saja. Karenanya penting bagi guru untuk berefleksi dan merenungkan kembali apakah pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diampunya sudah memuat nilai- nilai yang membentuk karakter siswa dalam wujud kesantunan berbahasa atau belum. Maka selain mementingkan segi ontology ( pengajaran materi) dan segi epistemology ( cara mengajarkan materi ), guru juga harus memperhatikan segi aksiologi ( kebermanfaatan pembelajaran materi ) sebagai tujuan akhir pembelajaran.
Sekian dan terima kasih.
Daftar Pustaka
Abdul Chaer. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta
Muhadjir Noeng. 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.