Pers Aceh Dalam Lintasan Sejarah

49.577 dibaca
Pers Aceh Dalam Lintasan Sejarah

BUANAINDONESIA.CO.ID, ACEH JAYA – Adnan Ns, S.Sos, M.Ap, Putra Barat Selatan, lahir di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, tahun 1955. Bg Nan, Denan atau Cut lem, sapaan akrabnya, mulai berkecimpung di Dunia Pers pertama kali semenjak menjadi Reporter di Harian Waspada Medan, Tahun 1980.

Sebelum terjunn di dunia Pers Adnan, sebagai fotografer keliling. Keseriusannya bergelut di dunia Wartawan ituitu mengantar Adnan sebagai Ketua PWI Provinsi Aceh pada 2000-2005.

Tahun 2004, Adnan terpanggil hati nuraninya, untuk berkiprah lebih jauh bersama masyarakat Aceh, sehingga dia terpilih mewakili Provinsi Aceh, sebagai Senator (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) berkantor di Senayan.

Baca juga : Nonton Film Terbaru Pengganti XXC

Dalam buku Understanding Media (1996), sebut Adnan, Mc Luhan menyatakan bahwa PERS adalah “The Extented Of Man” atau perpanjangan dan perluasan Manusia. Ini terkait dengan fungsi PERS yang sangat signifikan. Yaitu PERS sebagai Informasi (To Inform); PERS sebagai Edukasi (To Educate); PERS sebagai Koreksi (To Influence); PERS sebagai Rekreasi (To Entertain); PERS sebagai Mediasi (To Mediate), artinya penghubung atau sebagai fasilatator atau Mediator.

Adnan NS, kepada media ini, Minggu (24/9), saat bincang-bincang, terkait Pers Aceh dalam lintasan Sejarah, pengungkapan sejarah Pers Aceh tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang Pers Indonesia yang terbagi pada lima zaman.

Baca juga : Artis VS Tertangkap Atas Dugaan Kasus Tali Air, Instagram Vernita Dibanjiri Komentar 

Dimulai pada masa Veroninggroed Of Company (VOC), atau disebut juga Kompeni, diselingi masa penjajahan Inggris, Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai masa Republik Indonesia. Sebuah usia yang sudah tua, ujar Adnan.

Seperti tertera dalam buku yang ditulisnya “Pers Aceh Dalam Lintasan Sejarah”.

Berbicara perihal sejarah dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Tentang awal mula dimulai dunia persuratkabaran ditanah air ini, Dr. De Haan dalam bukunya, ” Oud Batavia”, mengungkap secara sekilas sejak abad ke 17 di Batavia sudah terbit  sejumlah surat kabar.

Baca juga : Napak Tilas Kejayaan Limbangan Sunan Cipancar Prabu Wijaya Kusumah

Diceritakan, pada tahun 1976 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericth Eropa (Berita singkat dari Eropa). Berkala memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris dan Denmark, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede pada tahun 1676.

Sejarah Politik Negeri ini, membuktikan bagaimana PERS berperan positif, bahkan sangat signifikan dalam proses pergerakan kemerdekaan.

Baca Juga : Viral di Media Sosial  Dengan Alat Seadanya Namun Cukup Menghibur

Sebelum Abad ke 20, skema perjuangan dominan dilakukan melalui cara-cara perperangan dan adu pasukan di Medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan Pers.

Pergerakan Nasional dan Pers pribumi, kata Adnan, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, dapat diibaratkan sebagai kembar siam, dua bidang kegiatan Bangsa Indonesia yang hidup berdampingan secara simbiotik, ada saling ketergantungan secara organik.

“Dengan Pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat eksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah Internasional”.

Pers mempunyai peranan penting dalam menjalankan pendidikan politik bagi Bangsa Indonesia, imbuh Adnan NS.

Berdasarkan buku yang ditulis, dan dirangkum dari sumber-sumber lainnya, dalam konteks inilah dapat diasumsikan bahwa keberadaan Pers di Aceh, atau Pers luar Aceh dan beredar pada masyarakat Aceh.

Jelaslah bahwa dunia pers pun hidup dan berperan strategis untuk perjuangan kemerdekaan maupun dalam konteks pembangunan masyarakat Aceh.

Sesuai dengan buku yang ditulisnya, dalam sejarah Pers di Indonesia, surat kabar Bataviase Nouvelles yang terbit pada 7 Agustus 1744, disebutkan sebagai surat kabar pertama di Indonesia yang terbit atas kebaikan Gubernur Jendral Van Imhooff. Izin terbit diberikan kepada Adjunct-Scretaris-General Jorden selama enam bulan, kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun.

Pada 5 Agustus 1810 terbit surat kabar De Bataviasche Koloniale Courant yang berusia setahun karena muncul penjajah baru yakni inggri. Dua tahun kemudian pada 29 Febuari 1812 beredar koran The Java Gouvernment Gazette (Java Gazette).

Lanjut diceritakan Adnan, pada Maret 1836, terbit koran usaha pertikulir asli yang pertama Indonesia, di Surabaya, yaitu Soerabaijas Advertentie-Blad.

Lalu, tahun 1853, koran itu berganti nama menjadi Soerabaijas Nieuws & Advertentie Blad, boleh membuat berita tetapi diawasi ketat oleh Belanda. Jadi Soerabaijas merupakan cikal bakal terbitnya surat kabar di Indonesia.

Awal 1900-an, merupakan tahun kebangkitan dan pergerakan Pers Nasional. Dalam konteks ini, terbit surat kabar asli Indonesia, yaitu Medan Prijaji di Bandung pada tahun 1907. Ketika terbit pertama di Bandung masih bentuk mingguan. Penerbitnya adalah Mas Tirto Hadisoerjo alias Djokomono, dialah perintis persuratkabaran dan kewartawanan Nasional.

Menurut Adnan, dalam buku yang ditulisnya, Sjafik Umar menjelaskan, Medan Prijaji paling tepat disebut sebagai koran pertama Indonesia tulen, sebab mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Djokomono sendiri disebut-sebut pula sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan Nasional Indonesia.

“Konon pada waktu itu sudah lahir organisasi wartawan, PDI (Persatuan Djoernalis Indonesia)”.

Dengan berkembangnya media, fenomena ini juga turut menyulut perkembangan pers di kawasan ujung Pulau Sumatera. Sepanjang periode 1885-1942, terdapat 133 media cetak terbit di Sumatera Utara. Belum lagi di Sumatera Barat, khususnya Padang dan Kawasan Aceh.

Sejarah perjuangan pers di Sumatera Utara dan Aceh ikut melahirkan Tokoh Pers Nasional, diantaranyaadalah, Parada Harahap, Adinegoro, Mohammad Said, Hj. Ani Idrus, Mohammad Samin dan Dja Endar Muda.

Tentang peran mereka dalam dunia pers sekaligus perjuangan pergerakan. Tepatlah seperti yang digambarkan surat kabar harian “Kompas”, mereka benar-benar menjadi pejuang pers ketika Indonesia belum merdeka.

“Tulisan-tulisan mereka membuat telinga petinggi Belanda memerah”.

Berdasarkan kutipan buku Pers Aceh dalam lintasan Sejarah. Ektitensi Pers Pertama Di Aceh. Kapankah mulai terbit surat kabar di Aceh?
Mengingat perkembangan pers yang pesat di Sumatera Utara, maka dengan sendirinya dapat diasumsikan perkembangan itu pun menjalar ke Aceh, mengingat jarak teritorialnya yang bertetanggaan satu sama lainnya.

Tokoh pers Aceh Drs. Muhammad TWH menyebutkan bahwa di Aceh pun, sejak 1907, telah terbit sebuah surat kabar.

“Hanya sayang, menurutnya, keberadaan surat kabar Aceh pertama tidak terdokumentasi dengan baik dalam kajian sejarah pers Nasional”.

Surat kabar pertama terbit di Aceh tidak tercantum dalam buku Sejarah Pers Indonesia, yang diterbitkan oleh Dewan Pers Indonesia, tahun 1977.

Yang dimaksud surat kabar pertama itu adalah Sinar Atjeh, surat kabar lokal yang terbit sejak tahun 1907. Eksistensi Sinar Atjeh pada tahun yang disebutkan tidak perlu diragukan.

Ditegaskan, Kami dapat memastikan adanya surat kabat pertama di Aceh, setelah kami ketemukan micro-filmnya di Perpustakaan Nasional Pusat.

Yang menjadi masalah, terutama bagi penggiat sejarah Aceh, apakah Sinar Atjeh benar-benar surat kabar yang pertama di Aceh? Dari literatur-literatur yang ada, Pers Aceh, khusnya media massa surat kabar, sudah mulai berkembang setidak-tidaknya sejak tahun 1906.

Hal tersebut, diperkuat berdasarkan penelitian yang dilakukan Ahmat B. Adam, tahun 1906 di Kutaraja (Banda Aceh) terbit sebuah surat kabar lokal berbahasa Melayu bernama Pemberita Atjeh.

Ditegaskan Adam  bahwa surat kabar inilah yang pertama di Aceh “this was the first native paper ever publhished in Aceh. It was publhised in the Malay languange with Dja Endar Moeda as editor”. Dengan menggunakan bahasa Melayu, surat kabar ini, terbit dua minggu sekali. Didirikan dan dipimpib oleh Dja Endar Moeda, tokoh pers Melayu, terkenal dengan julukan, “Raja Koran Sumatera”.

Dja Endar Moeda adalah perintis pers berbahasa melayu  kelahiran Padang Sidempuan 1861. Nama aslinya adalah Muhammad Saleh. Didik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, karirnya di dunia  pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar, pada 1887.

Dja Endar Moeda menjadi pebisnis media massa. Tahun 1905, ia membeli Pertja Barat  yang menjadikannya sebagai media cetak pertama milik pribumi di Sumatera. Selain itu Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja.

*FENOMENA SINAR ACEH*

Pemberita Atjeh berjaya, hanya setahun, karena pada tahun 1907, muncul koran baru sebagai pesaingnya yakni Sinar Atjeh.

Sejauh yang bisa didapatkan bentuk fisik dari dua surat kabar tertua di Aceh, Pemberita Atjeh dan Sinar Atjeh, yang kedualah justru terdokumentasikan dengan baik di perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta.

Bila penasaran dengan isi tulisan, dapat dibaca melalui buku “Pers Aceh dalam lintasan Sejarah”, yang ditulisnya tutup Adnan NS.

Bagaimana Menurut Anda?