BUANAINDONESIA.CO.ID, GARUT – Garut sebagai kawasan pegunungan mempunyai potensi yang baik untuk menghasilkan kopi. Namun sungguh disayangkan, karena kurangnya perhatian dan edukasi kepada para petani, bertani kopi tidak cukup dilirik oleh para petani Garut, sehingga para petani lebih banyak memilih bertani sayuran daripada kopi.
” Sebenarnya bertani kopi lebih menjanjikan daripada menanam sayuran, selain karena proses pemeliharaannya yang lebih mudah, juga permintaan pasar akan kopi Garut cukup tinggi,” tutur Riswan, seorang petani kopi asal Wanaraja saat ditemui di kediamannya, Rabu, 7 Februari 2018.
Selama ini, para petani kopi belum mampu memenuhi permintaan pasar, hal itu disebabkan karena kurangnya minat petani untuk menanam kopi.
“Untuk kawasan Kecamatan Wanaraja saja hanya baru mampu menghasilkan 700 ton pertahun, padahal permintaan kopi asal Garut untuk memenuhi pasar dalam negeri saja lebih dari itu,” lanjut Riswan.
Selain itu, perkembangan pertanian kopi di Garut cukup terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang lebih dahulu terkenal, seperti kopi Toraja dan kopi Gayo. Para petani juga belum berani melakukan ekspor ke luar negeri karena kurangnya modal untuk mengurusi proses perijinan.
“Kopi di kawasan Garut ini sudah lama ditanam, akan tetapi karena kurangnya endorse dan juga promosi, membuat kopi Garut belum begitu dikenal di kalangan penikmat kopi di Indonesia,” tambah dia.
Baru sekitar tahun 2017, dibuatlah APEKI (Asosiasi Petani Kopi) yang menaungi para petani kopi di kawasan Garut.
“Para petani cukup baik menyambut pergerakan tersebut, mereka berharap dengan adanya asosiasi tersebut bisa membantu untuk perkembangan para petani kopi di Garut. Akan tetapi jangan sampai dengan adanya asosiasi tersebut penjualan kopi bisa terjadi hanya pada satu pintu saja, karena hal itu dapat mempersempit pergerakan para petani,” pungkas Riswan.
Editor: NA